Sebagian orang begitu yakin dengan 'nasib' buruknya, atau 'takdir' nya untuk tidak sukses atau tidak berhasil di bidangnya. Apalagi seolah kalau kita melakukan sesuatu untuk lebih berhasil,lebih bahagia atau lebih sukses dari kondisi kita sekarang, berarti kita 'melawan' takdir atau nasib tadi. Lebih menarik lagi, beberapa orang merasa tidak menginginkan hal-hal lebih baik untuk dirinya, karena menurut mereka 'takdir' nya adalah apa yang sedang mereka jalani dan nikmati sekarang. Bahkan, walau sejarah sudah membuktikan berkali-kali betapa orang-orang tertentu melewati batas normal dan menghasilkan yang luar biasa sekalipun, mereka hanya sampai batas kagum, dan bergumam, "Itu memang sudah 'takdir’nya!"
Coba tanyakan pada diri anda sendiri..Darimana anda tahu bahwa itu 'takdir' anda? Bagaimana anda sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah 'nasib' anda? Bagaimana pula anda yakin mengenai takdir orang lain?
Oke..saya akan ajak anda melihat beberapa kemungkinan….
1. Saya sudah berusaha berkali-kali, tapi tidak melihat dan merasakan perubahan. Generalisasi mudah: sudah takdir saya untuk 'tetap' begini.
2. Saya sudah menjalankan beberapa inisiatif, tapi tidak melihat dan merasakan perubahan. Generalisasi mudah: saya sudah coba 'semua' cara tapi keadaan tidak berubah, saya sudah ditakdirkan begini.
3. Saya sudah melihat beberapa orang dalam jangkauan peta realita saya yang mirip status atau latar belakang dengan saya, yang tidak berhasil atau ber-'nasib' buruk. Generalisasi sederhana: mereka juga tidak berhasil, saya tidak lebih baik dari mereka!
4. Saya melihat atau mendengarkan betapa di luar sana persaingan dan kompetisi di konteks yang saya geluti semakin sempit dan terlalu banyak orang yang bermain di lapangan yang sama. Generalisasi mudah: saya tidak lebih baik dari mereka yang bersaing, mana mungkin ada kesempatan untuk saya?
5. ...........Anda bisa mengisi sendiri dengan asumsi Anda mengenai kemungkinan lain.
Nah, yang menarik, dari hal-hal di atas, walaupun menyangkut asumsi 'nasib' atau 'takdir', ternyata bentuknya adalah GENERALISASI dari apa yang dilihat, didengar, dialami. Tentu saja, tidak ada satupun kita yang benar-benar mendapatkan 'bisikan' dari Tuhan bahwa 'nasib' atau 'takdir' kita sudah demikian? Tentu saja tidak satupun dari kita 'berbincang-bincang' dengan Tuhan lalu mendapatkan penjelasan langsung dari Tuhan tentang apa yang menjadi 'nasib' kita, bukan? Kita hanya menyimpulkan saja! Kita hanya membuat kesimpulan berdasarkan jangkauan penginderaan kita saja, bahwa itu 'nasib' atau 'takdir' kita.Lalu, Darimana saya tahu 'nasib' saya sebenarnya?
Bagaimana saya tahu 'takdir' saya? Kalau memang saya percaya bahwa saya sudah hidup dalam garis yang sudah ditetapkan oleh Tuhan, apakah ada cara untuk mengetahuinya?Apakah dari peramal nasib? Apakah dari guratan tangan? Apakah dari tanggal lahir? Apakah dari zodiac? Shio? Atau dari setiap langkah saya? Atau dari setiap kejadian yang saya alami?Atau, apakah saya boleh berasumsi hanya dari pengalaman dan perasaan saya saja? Dan sementara saya mau berasumsi, apakah saya diam, menunggu perkembangan 'nasib', atau saya boleh tetap melakukan sesuatu untuk mencari 'nasib' saya yang sebenarnya? Sampai di mana saya berhenti dan MEMUTUSKAN bahwa itu 'nasib' saya? Bagaimana saya tahu?
BETUL SEKALI manusia punya keterbatasan. Dan dalam terminologi lain, batasan ini bisa serupa dengan asumsi 'nasib' atau 'takdir'. Dan memang, sangat mungkin manusia punya batasan masing-masing atau 'nasib' atau 'takdir' masing-masing. Tapi tidak satupun dari kita yang tahu batasan tersebut. Kita tidak tahu secara pasti batasan kita atau 'nasib' atau 'takdir' kita masing-masing. Kita hanya berasumsi, kita hanya berpersepsi mengenai batasan tersebut, sebatas penginderaan kita saja. Sebatas penglihatan, pendengaran, pengalaman kita saja. Dan, kalau memang kita tidak tahu secara pasti batasan ini, bukankah menarik mencari tahu dengan terus mendaki, naik, berkembang, bertambah baik, pintar, mampu, dan seterusnya? Dan kadang malah mengejutkan diri kita sendiri dengan apa yang bisa kita capai?
Beberapa kita akhirnya berhenti melakukan apapun dan membuat kesimpulan atau asumsi final tentang 'nasib' kita, sementara beberapa tidak pernah berhenti 'mencari' dan terus melakukan apapun. Persamaannya: sama-sama tahu bahwa ada 'batasan' atau ada 'takdir' untuk setiap manusia. Perbedaannya: satu berhenti mencari, satu terus mencari. Ada persamaan satu lagi: di titik KEPUTUSAN tersebut, keduanya sama-sama MEMUTUSKAN mengenai 'batasan'-nya. Yang berhenti MEMUTUSKAN bahwa itulah batasan atau 'nasib' atau 'takdir'-nya, sedangkan yang terus mendaki MEMUTUSKAN bukan itu batasannya atau 'nasib'-nya tidak berhenti di situ.Anda yang mana? Sampai batas mana Anda bersedia terus berjalan? Sampai batas mana Anda bersedia memberikan segalanya?
Hidup ini adalah perjuangan untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan, walau pada akhirnya Tuhan jualah yang menentukan, namun bukan berarti kita pasrah dan berdiam diri tampa berjuang namun ‘pasrah’ dalam arti menerima dengan lapang dada apapun hasilnya nanti yang kita peroleh sehingga kita tidak akan terpuruk terus dalam penyesalan dan kesedihan namun berintropeksi diri dan akan bangkit lagi mencari cara lain untuk menuju keberhasilan itu.
28 Juni 2009
Nasib Vs Takdir
Posted by
sudyatmika
at
23.37
Labels: Cahaya hidup
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 comments:
Posting Komentar